JAKARTA, WT – Hari Kartini bukan sekadar perayaan bunga-bunga atau kebaya warna-warni di sekolah atau isntansi kerja. Ia adalah pengingat akan perjuangan perempuan untuk mendapat pengakuan, kesempatan, dan keadilan dalam sistem yang sering tak berpihak. Di tengah gema peringatan yang kerap simbolik, mari kita tengok realitas yang nyaris sunyi: perjuangan para single breadwinner, ibu tunggal yang menjadi satu-satunya penopang ekonomi keluarganya.
Mayoritas ibu tunggal, menyandang peran ini – mengasuh anak sendirian sekaligus menghidupi keluarga tanpa sokongan pasangan dan minim dukungan sistemik. Pendapatan mayoritas dari mereka berada di bawah Rp1-5 juta per bulan, bahkan banyak sekali yang tidak menentu pendapatannya. Mereka tidak hanya memikul beban ekonomi, tapi juga tekanan emosional, sosial, dan mental, yang jarang terlihat, apalagi terdengar.
Di balik narasi kemandirian, tersembunyi kelelahan yang sistemik. Tidak adanya akses terhadap layanan psikologis, minimnya dukungan sosial yang terstruktur, dan absennya kebijakan publik yang adaptif terhadap kebutuhan ibu tunggal membuat peran ini nyaris mustahil dijalani tanpa mengorbankan kesehatan mental. Namun, mereka tetap berdiri. Teguh. Diam-diam kuat.
Yang paling mencolok: banyak sekali ibu tunggal yang berjuang mencari peluang kerja dan juga tambahan ketrampilan, dengan harapan, ketrampilan baru tersebut bisa menjadi pembuka peluang ekonomi. Ini membuktikan bahwa ibu tunggal bukan objek belas kasihan. Mereka adalah subjek perubahan yang butuh akses, bukan simpati. Mereka haus akan kesempatan—bukan bantuan kosong, tapi dukungan nyata yang menghargai waktu dan kondisi mereka.
Namun, hingga kini negara belum hadir secara utuh untuk mereka. Skema perlindungan sosial di Indonesia masih didesain untuk rumah tangga “normal”—yang diasumsikan terdiri dari dua orang dewasa. Padahal, kenyataannya jauh berbeda. Kadang kala, program pelatihan terlalu panjang, lokasi terlalu jauh, informasi sulit diakses. Akibatnya, partisipasi mereka rendah bukan karena tidak mau, tetapi karena sistem menutup pintu.
Di sinilah Hari Kartini harus dimaknai kembali. Kartini tidak hanya bicara tentang akses pendidikan, tapi juga keberpihakan pada perempuan dalam segala kondisi sosialnya. Di era sekarang, itu berarti memperjuangkan sistem kerja fleksibel, pelatihan berbasis digital, layanan psikologis komunitas, serta jaminan perlindungan sosial untuk perempuan kepala keluarga.
Perempuan yang menjadi single breadwinner hari ini sedang berjuang seperti Kartini dulu—melawan keterbatasan, menembus bias sosial, dan menantang narasi dominan tentang keluarga ideal. Mereka adalah Kartini masa kini yang perlu lebih dari sekadar penghormatan simbolik.
Mereka menjaga nyala rumah dalam senyap. Mereka menyelamatkan generasi dalam sunyi. Dan jika kita tidak mendengarkan mereka sekarang, maka Hari Kartini kehilangan maknanya yang paling substansial: keadilan untuk semua perempuan, dalam segala bentuk kehidupannya.
Penulis:
Emmy Kuswandari , Mahasiswi Komunikasi Korporat S2 Universitas Paramadina
Discussion about this post