WARTA TANGERANG – Di keluarga saya memiliki kebiasaan dimana ketika kami bertemu saling peluk cium lepas kangen.
Selama beberapa lama sejak keluarga mengetahui status HIV saya, saya harus memaklumi tidak ada kebiasaan tersebut berlaku untuk saya lagi. Terkecuali orangtua dan kakak adik kandung saya, yang seperti sediakala melakukan sentuhan dengan saya.
Tetapi karena beberapa orang dalam keluarga segan bersentuh tangan dengan saya maka saya pun menghindari bersentuhan dengan siapapun sebisa mungkin.
Saya berikan hasil tes hiv anak saya yang menyatakan negatif HIV dan menitipkan anak saya untuk disekolahkan oleh kakak kandung saya.
Karena pada saat itu tiga orang adik ipar saya masih bersekolah dan akan memberatkan ibu almarhum suami jika dititipkan seorang anak kecil. Walaupun mereka tidak merasa keberatan dan bahkan sampai detik ini rasa sayang mereka terhadap keponakan dan saya, mantan kakak iparnya, tidak berkurang.
Beruntung sekali, tetangga saya adalah aktivis HIV , beliau adalah Chris W. Green pendiri yayasan Spiritia. Di sore hari saya sering mampir kerumah beliau sekadar curhat atau minum teh. Kemudian, tanpa saya ketahui beliau menghubungi ke rumah saya dan mengundang minum teh. Disitulah edukasi mengenai HIV diberikan kepada keluarga saya. Apa yang beresiko menularkan, apa yang tidak beresiko menularkan.
Sejak edukasi HIV itulah keluarga saya mulai pelan-pelan belajar memahami virus HIV dan mempelajari infeksi infeksi opportunistik yang kemungkinan akan saya hadapi dikemudian hari. Pemahaman tentang virus HIV menjadikan saya lepas dari diskriminasi keluarga, sehingga saya menjadi semakin kuat mental dan merasa mampu menghadapi masyarakat. Bersambung…
Discussion about this post