WARTA TANGERANG – Sebagian masyarakat menganggap Orang dengan HIV (ODHIV) sebagai penyakit menakutkan. Akibat stigma negatif terhadap ODHIV, tak jarang mereka diperlakukan diskriminatif dari masyarakat dan tidak bisa menjalankan hidup layaknya orang normal.
Sejauh mana ODHIV bisa bertahan dengan stigma negatif dan diskrimnasi dari masyarakat. Ini cerita salah seorang ODHIV asal Kota Tangsel.
Nama saya SH, 40 tahun. Sejak tahun 2002 saya terindikasi mengidap HIV positif. Awalnya, almarhum suami, seorang pecandu narkoba pengguna jarum suntik, sering mengeluh sakit dan mengalami kelelahan yang tidak wajar.
Terdeteksi TBC dan menjalani pengobatan tidak menjadikan almarhum suami lebih sehat. Sesuai saran dokter, Almarhum suami saya menjalani tes HIV dan hasilnya positif.
Singkat cerita, Juni 2004 setelah dua tahun sakit-sakitan, almarhum suami saya meninggal dunia. Meninggalkan saya dan putera kami yang berusia 3 tahun. Agustus 2004, saya memutuskan untuk tes HIV juga dan sekaligus tes untuk anak saya. Saya positif, tetapi anak saya negatif.
Sebenarnya saya sendiri sudah merasa yakin jikalau saya juga mengidap virus tersebut. Hanya saja kesibukan mengurus suami sakit mengurungkan niat saya untuk berobat. Dikarenakan biaya dll. Syukurlah, anak saya negatif.
Setelah hasil tes HIV positif saya terbit, saya langsung tanpa berpikir dua kali berobat dan mengonsumsi ARV.
Tidak sempat bersedih, saya dalam keterpurukan dan kebingungan, bekerja untuk menafkahi diri sendiri dan persiapan sekolah anak saya. Saat itu saya merahasiakan status HIV positif saya ke keluarga dan teman-teman.
Saya bingung harus bercerita mulai darimana dan kekhawatiran jika saya dikucilkan saya semakin meningkat setiap hari. Tahun 2006, saya tiba-tiba mengalami sesak nafas dan oleh keluarga saya dibawa ke RS Fatmawati. Namun karena kekhawatiran apabila keluarga saya mengetahui status HIV positif. Saya memaksa pulang rawat inap tanpa izin dokter. Di rumah, makin hari tubuh saya makin lemah, HB saya berkurang secara significant sampai para akhirnya saya tidak mampu lagi bertahan dan dinyatakan koma dengan HB 1,1.
Sadar sebulan kemudian, saya berada di RSUP Fatmawati setelah transfusi darah berpuluh-puluh ampul. Menurut cerita papa, saya sudah tidak merespon selama tiga hari. Selang oksigen dilepas dan saya dilarikan ke rumah sakit untuk menghindari kesalahan mengenai status kematian.
Setelah siuman, berbagai tes harus dijalani agar dokter mengetahui penyebab kehilangan darah merah. Mau tidak mau akhirnya saya mengakui kalau saya mengonsumsi ARV (neviral duviral dengan efek samping anemia berat). Dengan berat hati saya harus menerima keadaan saya didiskriminasi.
Ada kalanya beberapa dokter magang masuk ke ruang rawat inap, sebagai bahan studi, dengan memakai sarung tangan walaupun mereka tidak melakukan pemeriksaan fisik.
Dokter spesialis dalam saya di RSUP Fatmawati , Dr Martin Batubara Sp.PD walaupun sudah menjelaskan kondisi kesehatan saya dan tidak akan terjadi penularan apabila menyentuh saya, tidak membuat mereka menjadi yakin.
Setelah keluar rawat inap, piring sendok garpu saya dirumah dipisah. Saya memang tidak sampai diusir dari rumah tetapi saya beraktifitas sendiri saja , makan sendiri nonton TV sendiri bahkan semua orang apabila saya keluar kamar, mereka dengan sopan dan menyakitkan hati langsung bubar gantian masuk kamar masing-masing. (Bersambung)
Discussion about this post