JAKARTA, WT – Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menggelar aksi teatrikal di depan Istana Merdeka dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Jumat, (2/5/2025).
Dengan mengenakan kostum hitam dan membawa payung hitam, para aktivis pendidikan menyampaikan simbol duka dan keprihatinan mendalam terhadap kondisi pendidikan nasional yang semakin memprihatinkan, terutama akibat rendahnya integritas dan semakin kuatnya komersialisasi dalam sektor pendidikan.
Aksi ini ditutup dengan pembacaan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berisi kritik dan seruan perbaikan serius terhadap sistem pendidikan nasional. Dalam surat terbuka tersebut, JPPI menyoroti sejumlah persoalan fundamental yang hingga kini belum dituntaskan, di antaranya:
Rendahnya skor integritas sektor pendidikan sebagaimana dilaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024.
Komersialisasi pendidikan yang makin akut, ditandai dengan masih maraknya penahanan ijazah karena tunggakan biaya dan sekolah yang berubah menjadi “toko penjual ijazah.” Banyak pula orang tua yang terjerat pinjol karena mahalnya biaya pendidikan.
•Tingginya jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang mencapai 3,9 juta anak (data pd.data.kemdikbud 2025).
Buruknya kualitas dan pemerataan pendidikan, serta banyaknya bangunan sekolah rusak yang tidak layak pakai (JPPI mencatat 60,6% bangunan SD dalam kondisi rusak).
Ketimpangan kesejahteraan guru, di mana lebih dari 2,6 juta guru belum mendapatkan tunjangan profesi (data Dapodik, 2024).
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, Hari Pendidikan Nasional bukan saatnya untuk perayaan seremonial, tetapi untuk merenung dan bertindak menyelamatkan masa depan bangsa.
“Kami ingin menyampaikan pesan kuat bahwa pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Jika integritas pendidikan ambruk dan pendidikan dikomersialisasi, maka kita sedang memasang bom waktu bagi kehancuran bangsa dari dalam,” tegas Ubaid dalam orasinya.
Untuk menghentikan laju komersialisasi pendidikan, JPPI telah melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (No.3/PUU-XXII/2024). “Sidang perkara ini sudah berjalan satu tahun lebih, tapi belum juga ada keputusan. Karena itu, kami juga meminta MK segera mengabulkan permohonan sekolah bebas biaya yang memang sudah sejalan dengan Amanah UUD 1945 ayat 31,” papar Ubaid.
Dalam surat terbukanya, JPPI juga mempertanyakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yang dinilai tidak sepenuhnya digunakan secara akuntabel untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah. JPPI menyerukan agar anggaran tersebut fokus pada kementerian yang memang bertanggung jawab langsung atas pendidikan, bukan menjadi bancakan puluhan kementerian/lembaga.
Lima Tuntutan JPPI kepada Presiden:
1. Prioritaskan sektor pendidikan, serta letakkan penguatan integritas dan karakter sebagai prioritas utama dalam sistem pendidikan nasional.
2. Segera realisasikan sekolah bebas biaya secara nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan UU Sisdiknas, untuk semua anak, baik di sekolah negeri maupun swasta.
3. Hentikan komersialisasi pendidikan, penahanan ijazah, dan tindakan sekolah yang menjadikan biaya sebagai penghalang pendidikan.
4. Fokuskan anggaran pendidikan 20% APBN hanya pada Kementerian yang menangani pendidikan secara langsung (Kemendikdasmen, Kemendiktisaintek, dan Kemenag). Jangan dijadikan bancakan oleh puluhan K/L!
5. Lakukan audit dan evaluasi menyeluruh atas penggunaan dana pendidikan 20% dari APBN, serta berantas korupsi di sektor pendidikan.
JPPI berharap pemerintah tidak sekadar terjebak pada program populis seperti Makan Bergizi Gratis, yang saat ini masih bermasalah di berbagai daerah, tetapi benar-benar memastikan hak atas pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan bebas biaya untuk seluruh anak bangsa.
Discussion about this post