Wabah virus Korona ini memang luar biasa. Menurut data Worldometers, sebanyak 198 negara telah mengonfirmasi kasus positif Covid-19. Setidaknya angka kasusnya mencapai 467.520 kasus yang terkonfirmasi, dengan 21.174 orang meninggal dunia, dan 113.808 pasien sembuh. Bahkan terus bertambah setiap hari.
Indonesia juga tidak lepas dari serangan virus Korona. Bahkan telah banyak menelan korban jiwa, tidak terkecuali tenaga medis. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat setidaknya 24 dokter telah menjadi korban pandemi Korona.
Tentu saja korban bisa dari kalangan manapun. Tidak hanya dokter menjadi korban. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya bisa menjadi korban. Undang-undang No.36 Tahun 2014 tentang Kesehatan membagi tenaga kesehatan menjadi 13 kategori, antara lain; dokter, perawat, tenaga psikologi klinis; kebidanan; ahli farmasi; tenaga kesehatan masyarakat; tenaga kesehatan lingkungan dan tenaga kesehatan lain.
Memprihatinkannya jumlah tenaga kesehatan, khususnya dokter dan perawat yang tidak memadai. Berdasarkan data PPSDM Kementerian Kesehatan tahun 2018 jumlah dokter hanya 103.700 orang. Sedangkan tenaga keperawatan sebanyak 296.876 orang.
Tentu saja gugurnya tenaga medis, berapa pun jumlahnya sangat mengkhawatirkan. Ditambah fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Tepat kiranya pemerintah memberikan perlindungan ekstra bagi tenaga medis. Bukan hanya pada peralatan kerja, tetapi juga penghargaan tertinggi atas dedikasinya. Karena rela berkorban jiwa dan raga.
Gelar Pahlawan dan Pesan Politik
Ramai di lini masa memberikan gelar pahlawan bagi dokter yang gugur. Berika gelar pahlawan sesungguhnya bisa saja. Dengan berbagai argumentasi, rasanya tidak ada hambatan. Namun gelar pahlawan itu punya jejak yang sesak kepentingan politik di negeri ini.
Presiden Soekarno memberikan anugerah pahlawan kepada tokoh yang kontroversi dalam pandangan sejarah orde baru. Karena menyematkan Tan Malaka sebagai pahlawan, melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Setahun kemudian Presiden Soekarno kembali menetapkan tokoh kontroversial, yakni Alimin Prawirodirjo pada tahun 1964.
Literatur sejarah mencatat kedua tokoh itu bagian dari Partai Komunis Indonesia. Dari sisi inilah gelar pahlawan berlatar penilaian politis. Dugaan itu diperkuat pernyataan Presiden Soekarno terhadap sosok Tan Malaka yang dinilai sebagai merah putih sejati. Begitu pula kepada sosok Alimin Prawirodirjo. Hingga muncul argumentasi kalau Presiden Soekarno ingin memuluskan pandangannya tentang paham Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) untuk mengendalikan paham partai-partai di era pemerintahan Soekarno.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto juga terlihat hal serupa. Gelar pahlawan diberikan kepada tokoh yang secara pribadi memiliki kedekatan dengan Soeharto. Paling tidak memberikan dukungan terhadap upaya-upaya politik Soeharto.
Hal yang mudah dilihat adalah gelar pahlawan Tan Malaka yang diberikan Presiden Soekarno pernah diupayakan dicabut. Meski akhirnya pemerintahan Soeharto tidak resmi mencabut, dan memilih menghilangkan namaTan Malaka dalam daftar tokoh penyandang gelar pahlawan. Inilah realitas gelar pahlawan dan pesan politiknya.
Pada era berikutnya kembali terjadi. Gelar pahlawan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta juga berlatar kepentingan politik. Karena anugerah pahlawan justru terjadi pada era kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kenapa tidak di era Soeharto?, atau era BJ Habibie?, atau di era Gus Dur?, atau kenapa tidak saat putrinya, Megawati Soekarno Putri sebagai presiden?.
Presiden RI pertama menyandang gelar pahlawan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November 2012. Banyak yang meyakini anugerah pahlawan Ir. Soekarno sebagai upaya SBY menyampaikan pesan perdamaian kepada Megawati Soekarno Putri. Sebagaimana diketahui SBY dan Megawati memang menyimpan bara politik. Bahkan perseteruan dua pimpinan partai politik itu telah berlangsung sejak Pilpres 2004.
Uraian tersebut menjadi titik terang, kalau nuansa politik menjadi latar penetapan gelar pahlawan.
Kemudian apakah para dokter yang menjadi korban pandemi Korona bisa mendapatkan gelar pahlawan?. Rasanya kecil kemungkinan. Karena tidak ada amunisi politik yang bisa mengantarkan dokter itu menyandang gelar pahlawan.
Layaknya Tanda Jasa atau Tanda Kehormatan Kendati tak berpeluang mendapat gelar pahlawan, bukan berarti tak layak mendapat penghargaan.
Sejak era Soekarno sampai sekarang, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan mengalami perubahan. Sedikitnya terdapat 14 perundangan yang membahas hal tersebut, antara lain UU No. 30 Tahun 1954 tentang Tanda Kehormatan Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia. Kemudian UU No. 65 Tahun 1958 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan Bintang Sakti dan Bintang Darma. Kini pemerintah menggunakan UU No.20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, yang sekaligus mencabut aturan sebelumnya.
Membaca UU No.20 tahun 2009 memiliki pertimbangan filosofis, yakni sebagai ruang penghormatan negara atas upaya memajukan, memperjuangkan, dan membangun masyarakat. Sedangkan pertimbangan sosiologisnya menumbuhkan kebanggaan, keteladanan, kejuangan, dan motivasi untuk meningkatkan darmabakti kepada bangsa dan negara.
Sejalan dengan itu para tenaga medis yang gugur, memiliki kesempatan diberikan anugerah pemerintah. Hal itu merujuk pada Pasal 6 UU No.20 Tahun 2009 yang memberikan tanda kehormatan Bintang, Satyalancana atau Samkaryanugraha. Dimana pada Ayat (2) menyebutkan tanda kehormatan diberikan pada perseorangan.
Selanjutnya Pasal 7, Ayat (2) huruf d, memberikan kategori bintang kemanusiaan. Tentu kategori ini dinilai tepat. Dimana pemberian anugerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 20 tahun 2009. Khususnya Pasal 51, 52 dan 53 menjelaskan penerima bintang kehormatan diajukan siapa saja untuk diusulkan Bupati atau Gubernur. Kemudian disampaikan Menteri sebagai pembahasan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) untuk ditetapkan Presiden.
Kini jelas memberikan penghormatan bagi para medis bermula dari siapa saja. Selagi mau mengusulkan nama-nama dokter sebagai individu yang layak mendapatkan tanda kehormatan. Harapannya anugerah yang tepat pada moment yang tepat memberi inspirasi bagi generasi berikutnya. (*)
Riko Noviantoro
Pemerhati Kebijakan Publik
Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Discussion about this post