WARTA TANGERANG – Pemilu yang masih jauh menjadi hipotesis bagi parpol untuk Menyusun agenda politik krusial dihelatan pileg dan pilpres 2024. Agenda politik parpol dengan segala dinamikanya menjadikan elite terus berkonsolidasi Menyusun strategi terbaik untuk meraih keuntungan.
Keuntungan yang dimaksud adalah insentif electoral partai politik dipemilu legislative dan kemenangan pada pilpres 2024.
Kehadiran sekoci KIB menabuh genderang bagaimana parpol bersikap. Sikap golkar, PAN dan PPP dalam KIB menjadi harapan baru bagi ruang baru politik dalam menentukan arah politik kedepan.
Begitupun koalisi gerindra dan PKB memiliki perhatian yang sama dengan mengusung 2 ketua umumnya sebagai capres dan cawapres. Deklarasi 2 bentuk koalisi partai politik memiliki harapan yang disinyalir untuk memenuhi “hidden agenda” parpol koalisi dalam penentuan siapa capres yang bakal diusung oleh 2 sekoci koalisi tersebut.
Agenda jangka pendek KIB menjadikan sekoci ini untuk memfasilitasi kandidat capres. Ada nama Airlangga Hartarto, Suharso Manoarfa dan zulkifli hassan yang disinggung elite KIB, hal yang sama dilakukan gerindra-PKB yang mengusung ketua umum masing-masing yaitu Prabowo dan Muhaimin.
Walaupun dalam KIB ada alasan yang lebih kuat untuk memfasilitasi Ganjar Pranowo dan dengan kehadiran luhut binsar panjaitan dalam berbagai deklarasi KIB sebagai fasilitator yang diperkuat dengan personal garanted Jokowi sebagai ikon common poweship di luar PDIP sebagai signal untuk mengusung ganjar sebagai capres potensial.
Begitu juga yang dilakukan oleh Nasdem dalam mengusung Anis Baswedan, Ganjar dan andika perkasa sebagai capres potensial yang diusung, walaupun masih mencari kawan koalisi tapi menjadi daya tarik tersendiri bagi Anies yang keberadaannya dalam beberapa survey yang selalu mengantongi approval rating tiga besar capres potensial.
Walaupun partai seperti Demokrat dan PKS yang sudah berkomunikasi sampai saat ini masih jaim (jaga image) untuk melibatkan dalam koalisi Nasdem.
PDIP sebagai the rulling party nyaman dengan banyaknya kader potensial, seperti Ganjar Pranowo, Risma, Puan, Abdullah Azwar Anas dll, banyaknya kader potensial dengan elektabilitas tinggi seperti ganjar belum tentu mendapatkan tiket dari megawati sebagai pemegang mandate tunggal dalam penentuan capres. Dan PDIP mahir dalam membangun psikologi politik sehingga partai-partai politik lainnya menungu keputusan final dari PDIP.
PDIP yang Sejatinya mendapatkan berkah electoral atas coat tail effect atas figur joko Widodo apakah mampu mendulang hattrick dengan menghadirkan figur diatas, atau memaksakan Puan maharani sebagai capres sebagai kelanjutan penguasaan trah bung karno.
Pelbagai potensi koalisi yang akan dibangun tidak lepas dari reaksi atas problem kandidat capres untuk mendapatkan coat tile effect atau efek ekor jas bagi partai politik. Tidak ada lain bagaimana suguhan capres yang diusung dapat mempengaruhi electabilitas bagi partai politik itu sendiri.
Seperti pada pemilu priode lalu, pemilu kedepannya masih dapat diindikasikan pengaruh figur kandidat pada coat-tail effect terhadap partai politik besar kemungkinan sebagi magnet electoral. kehadiran kandidat seperti ganjar, anies, prabowo sebagai figur yang saat ini potensial secara electabilitas apakah mampu membawa keberkahan electoral yang sama pada pemilu 2024 bagi parpol pengusung dan pendukung?
Berebut Efek ekor jas
Istilah efek ekor jas atau coat tile effect didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti, utamanya, di Amerika Serikat (AS).
Efek ekor jas atau coattail effect secara umum merujuk pada kecenderungan kandidat popular dalam satu level pemerintahan dapat menyebabkan pemilih memilih kandidat dari partai yang sama dengan kandidat populer tersebut untuk level pemerintahan yang lain.
Terdapat beberapa varian dari coattail effect.
Setidaknya Zudenkova dalam karyanya menyebutkan dua istiah, yakni presidential coattail effect dan reverse coattail effect.
Istilah pertama yakni Presidential coattail effect, merupakan kondisi dimana anggota legislatif dari partai tertentu dipilih oleh pemilih karena performa dari pemerintahannya (presiden). Sedangkan istilah kedua, reverse coattail effect adalah kondisi dimana seorang kandidat popular pada level yang lebih rendah dapat meningkatkan perolehan suara partainya pada level pemerintahan yang lebih tinggi.
Pada konteks ini dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya.
Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.
Sebaliknya, seorang calon presiden atau presiden yang tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang rendah akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang mengajukan dia sebagai calon presiden.
Menguji coattail effect
“coat-tail effect” adalah salah satu pertanyaan penting semua aktor politik di Indonesia menjelang pemilihan umum serentak 2024. Fokus soal adalah: adakah pengaruh elektoral calon presiden terhadap partai pengusungnya? Karena pengusung calon presiden pasti koalisi sejumlah partai, pertanyaan tambahannya: terhadap partai pengusung yang bukan partai asal calon presiden, apa pengaruh elektoral yang dibawa seorang calon presiden?.
Di Indonesia, efek ekor jas pernah mengalami kesuksesan besar. Misalnya, terjadi pada 2004 dan 2009 dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bagi demokrat dan lebih kuatnya disaat figur Jokowi yang menguntungkan buat PDIP pada pilpres 2014 dan 2019.
Dapat dipastikan coat-tile effect berpengaruh pada parpol dimana kandidat itu berasal akan berdampak pula pada parpol pengusungnya, diluar dari partai kandidat berasal tidak berpengaruh signifikan terhadap partai pengusung lainnya.
Mudah untuk menguji coat tile effect bekerja, Pengalaman coat tile effect SBY untuk partai democrat dan Jokowi kepada partai democrat dapat dijadikan pijakan bagaimana cara kerja kandidat mempengaruhi electoral partai politik.
Dalam politik di Indonesia, masyarakat Indonesia masih mementingkan ketokohan public sebagai preferensi bagi pemilih, begitupun bagi partai politik, skema efek ekor jas pun mempengaruhi bagaimana ketokohan public dapat memberikan insentif electoral bagi partai politik pengusung.
Menjadi lumrah kiranya, semua partai politik mendesign agar ketua umumnya menjadi magnet electoral, akan tetapi sejauh mana posisi ketua umum tersebut mampu mendapatkan simpati public dengan mempopulerkan tokohnya sebagai bagian dari pemenuhan electoral partai politik.
Inilah kedepan kiranya yang menjadi tontonan menarik bagi parpol saat ini menggunakan design kandidat yang populis untuk meramu electoral bagi pemenuhan suara parpol.
Paling tidak berkah electoral diharapkan oleh parpol terutama parpol papan tengah yang dalam beberapa survey jeblok dibawah 10 persen seperti PKB, PAN, Demokrat, PKS, NASDEM, dan PPP.
Partai-partai tersebut sedang diuji kesabarannya untuk menentukan capres pilihan yang dapat menumbuhkan insentif electoral, menempatkan ketua umum partai diatas tersebut belum tentu mendapatkan suara pemilih yang signifikan. berdasarkan pengalaman pemilu 2014 dan 2019, Jokowi yang didukung oleh gemuknya parpol yang mengambil keuntungan hanyalah PDIP, begitupun sama dengan dukungan parpol ke Prabowo yang beruntung hanya lah partai Gerindra. Serta partai-partai lain berjuang sendiri untuk bertahan demi melewati parlementary threshold.
Ala kulli hal, salah memilih capres bagi partai politik diatas akan kehilangan potensi suara pemilih. Dikarenankan budaya pemilih masyarakat masih terpaut pada ketokohan public, karenanya pola kerja coattile effect dikhawatirkan oleh partai politik yang tidak memiliki kader populis seperti Ganjar, Prabowo, Anies dan Ridwan kamil sebagai preferensi pemilih yang berdampak pada pilihan partai politik. (*)
Penulis:
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)
Memed Chumaedy
Discussion about this post