Oleh: DESTI NOVITA
MAHASISWA/I PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASAR
Destiabdulkhaalid@gmail.com/ 081316407522
Abstract. The Baduy community is one of the tribes in Indonesia, which until now still maintains the basic cultural values they possess and believe in the midst of the advancement of civilization around them. In order to protect customary rights over its territory, the Regional Regulation of Lebak District Number 32 of 2001 concerning Protection of the Customary Rights of Baduy has been issued. The purpose of this research is to find out the basis of Baduy community to reject the disbursement of government village funds and to find out the protection of Baduy community environmental management based on the Baduy Protection Rights Law. This study uses normative juridical research methods with descriptive qualitative analysis. The results of this study indicate that the main activity of the Baduy community is to save and maintain the prohibited land that has been saved by their ancestors. Therefore, the behavior of the Baduy community is always directed at the management of the forest and its environment and the management of land for agricultural activities. Based on the feeling of holding strong beliefs and customs, Baduy people, especially in Kanekes Village reject the village funds from the government whose purpose is to develop infrastructure. The Baduy people are concerned that the funds that go down to the village will have an impact on the preservation of nature because in fact Baduy is known as an indigenous community that adheres to customs, including rejecting things that are modern in nature.
Keywords: Protection, Customary Rights, Village Funds, Community, Baduy.
- Pendahuluan
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara faktual sudah ada sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat bersifat teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau luar sebagai satu kesatuan hukum (subyek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.[1] Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang merujuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.[2]
Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, ditengah-tengah kemajuan peradaban di sekitarnya. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (dpl) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan), suhu udara rata-rata 20 °C. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar, mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik, taat pada tradisi, dan hukum adat. Adat, budaya, dan tradisi masih kental mewarnai kehidupan masyarakat Baduy. Ada tiga hal utama yang mewarnai keseharian mereka, yaitu sikap hidup sederhana, bersahabat dengan alam yang alami, dan spirit kemandirian. Sederhana dan kesederhanaan merupakan titik pesona yang lekat pada masyarakat Baduy. Hingga saat ini masyarakat Baduy masih berusaha tetap bertahan pada kesederhanaannya di tengah kuatnya arus modernisasi di segala segi. Bagi mereka kesederhanaan bukanlah kekurangan atau ketidakmampuan, akan tetapi menjadi bagian dari arti kebahagiaan hidup sesungghuhnya.
Dalam rangka melindungi hak ulayat atas wilayahnya, maka telah diterbitkan pula Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Dalam peraturan daerah ini, hak ulayat masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Lebak. Segala peruntukkan lahan terhadap hal ulayat masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Baduy. Keberadaan masyarakat Baduy kembali dikuatkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 1 Tahun 2015 tentang Desa. Dalam Pasal 228 Peraturan Daerah ini menyebutkan bahwa 10 Desa Kanekes merupakan Desa Adat yang masyarakatnya merupakan kesatuan masyarakat hukum adat Baduy.
Definisi Dana Desa menurut Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015[3] adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat, atau jika disederhanakan, Dana Desa merupakan seluruh dana yang dikelola dan dikeluarkan melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes).
Program dana desa yang dijalankan pemerintah ternyata tidak sepenuhnya diterima masyarakat, salah satu contohnya adalah penolakan dari masyarakat adat Baduy, masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak ini menolak dana desa yang akan diberikan pemerintah pusat sebesar 2,5 miliar rupiah. Adapun dana sebesar itu rencananya akan diberikan untuk membangun infrastruktur yang akan menunjang kegiatan perekonomian masyarakat adat Baduy. Alasan penolakan sendiri dikarenakan masyarakat adat baduy merasakan khawatir apabila pembangunan yang menjadi tujuan program dana desa ini bisa merusak dan menganggu kelestarian adat setempat. Meskipun dana yang akan mereka terima terbilang besar, namun masyarakat Desa Kanekes tersebut tidak bergeming dan lebih memilih mempertahankan kelestarian adat dan budaya mereka, dibandingkan harus menerima dana desa sebesar 2,5 miliar rupiah dan pembangunan akan masuk ke desa tersebut dan dikhawatirkan akan berpotensi akan menggusur nilai adat dan budaya mereka.[4]
Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis akan mengkaji lebih dalam tentang urgensi pluralisme dana desa pada masyarakat Baduy. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar masyarakat Baduy melakukan penolakan terhadap pencairan dana desa pemerintah dan untuk mengetahui perlindungan akan pengelolaan lingkungan masyarakat Baduy berdasarkan Perda Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
- Metode Penelitian
- Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep legis positivisi memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta melanggar norma-norma lain bukan sebagai hukum.[5]
- Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
- Pendekatan perundang-undangan (statute approach): suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.[6]
- Pendektan analistis (analyticak approach): pendekatan ini untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.
- Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam suatu penelitian dapat berwujud data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan dan/atau secara langsung dari masyarakat. Data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan dan dokumentasi disebut data sekunder. [7] Sesuai dengan pembedaan tersebut, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu, penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder, dan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum yang mempergunakan data primer,[8] yang oleh penulis digunakan juga sebagai data pendukung dalam penelitian ini, bukan sebagai data utama karena sebagai tambahan interpretasi dari peran serta itu sendiri.
- Analisis Data
Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu menyajikan kajian pada data-data yang diperoleh dari objek penelitian.Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,[9] Maksudnya adalah bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
- Dasar Penolakan Terhadap Pencairan Dana Desa Oleh Masyarakat Baduy
Seorang kepala desa Kanekes (jaro Pemerintah) mempunyai kewenangan yang sangat terbatas, khususnya yang berkaitan dengan pemerintahan diatasnya. Karena dalam setiap pengambilan keputusan, struktur adat sangat menentukan. Jaro Pamarentah dibantu seorang sekretaris desa (carik) yang di desa Kanekes dipegang oleh warga Panamping atau orang luar. Karena tugas Carik diantaranya adalah membaca dan menulis, hal ini bertentangan dengan aturan adat. Sehingga jabatan diserahkan kepada warga desa lain yang harus mendapat persetujuan dari Puun.
Secara umum masyarakat Baduy sangat tunduk dan patuh pada hukum adat. lndikasinya terlihat dari kehidupan kesehariannya yang senantiasa berpatokan pada hukum adat. Namun demikian mereka juga mengakui akan keberadaan negara dan merasa termasuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi mereka tidak dapat ikut aktif dalam masalah politik. Mereka hanya akan ikut kepada suara masyarakat pemilihnya lebih banyak.
Masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes menolak dana desa Rp 2,5 miliar tahun 2019. Mereka khawatir dana yang turun ke desa akan berdampak pada kelestarian alam di sana. Pemerintah Kabupaten Lebak sendiri menghargai penolakan yang disampaikan oleh pemangku adat di sana. Atas penolakan ini, rencananya Pemerintah Kabupaten akan berkoordinasi dengan Kemendes. Pemerintah Kabupaten, selanjutnya juga menghormati keputusan itu. Apalagi Baduy selama ini dikenal sebagai masyarakat adat yang memegang teguh adat istiadat, termasuk menolak hal yang sifatnya modernitas. Apalagi tidak ada alat elektronik masuk ke wilayah itu.
Menurut Pemerintah Kabupaten, pemerintah sangat menghormati budaya ada Baduy, hal tersebut merupakan kearifan lokal, sehingga jika terus dipaksakan untuk menerima dana desa untuk pembangunan infrastruktur paada masyarakat Baduy tersebut dikhawatirkan adat yang selama ini lekat pada masyarakat Baduy semakin hilang. Penolakan dana desa di Lebak, menurutnya, hanya terjadi di Desa Kanekes Baduy. Meski demikian, ada desa kasepuhan atau masyarakat adat selain Baduy yang menerima dana desa dan tidak pernah menolak.[10]
Sementara itu, Saija, pemuka adat juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar mengatakan bantuan dana desa tahun 2019 ini ditolak berdasarkan keputusan adat. Padahal, sebelumnya masyarakat Baduy menerima bantuan dana desa untuk pembangunan infrastuktur.[11]
Di tengah kehidupan modern yang serba nyaman dengan listrik, kendaraan bermotor, hiburan televisi serta tempat-tempat hiburan lain yang mewah, masyarakat Baduy masih setia dengan kesederhanaan, hidup menggunakan penerangan lilin atau lampu minyak (lampu teplok). Tidak ada sentuhan modernisasi di sana, segala sesuatunya sederhana dan dihasilkan oleh mereka sendiri, seperti makan, pakaian, alat-alat pertanian, dan sebagainya. Meskipun anti modernisasi, mereka tetap menghormati kehidupan modern yang ada di sekitarnya. Kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan di sekitarnya adalah ajaran utama masyarakat Baduy. Dari kedua unsur tersebut, dengan sendirinya akan muncul rasa gotong royong dalam kehidupan mereka. Tidak ada keterpaksaan untuk mengikuti dan menjaga tradisi kehidupan yang damai oleh mereka. Tidak ada rasa iri satu dengan lainnya karena semuanya dilakukan secara bersama-sama. Kepentingan sosial selalu dikedepankan sehingga jarang dijumpai kepemilikan individu, tetapi menjunjung tinggi asas demokrasi. Tidak ada kesenjangan sosial maupun ekonomi antara individu pada Masyarakat Baduy.
Segala hal yang alami, berhubungan dengan alam adalah sahabat masyarakat Baduy. Hal itu terlihat dari lokasi dimana mereka tinggal. Lingkungan tempat tinggal mereka tidak dijangkau oleh transportasi modern, dan terpencil di tengah-tengah bentang alam pegunungan, perbukitan rimbun, serta hutan, lengkap dengan sungai dan anak sungai, juga hamparan kebun, ladang (huma).
Masyarakat setempat yang menerapkan cara hidup tradisional di daerah pedesaan, yang nyaris tak tersentuh teknologi umumnya dikenal sebagai masyarakat suku, komunitas asli atau masyarakat hukum adat, penduduk asli atau masyarakat tradisional.[12] Masyarakat setempat seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli kawasan terkait, dan mereka biasanya berhimpun dalam tingkat komunitas atau desa. Kondisi demikian dapat menyebabkan perbedaan rasa kepemilikan antara masyarakat asli/pribumi dengan penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga masyarakat setempat seringkali menjadi rekan yang tepat dalam konservasi. Di sebagian besar penjuru dunia, semakin banyak masyarakat setempat telah berinteraksi dengan kehidupan modern, sehingga sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan diikuti penggunaan barang dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya kedekatan masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika konservasi setempat. Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Di samping itu dalam berperilaku orang akan berpedoman pada berbagai macam hal yang pada hakekatnya mempunyai nilai baik dan buruk serta pada kegiatan yang didasarkan pada benar dan salah.
- Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Masyarakat Baduy Berdasarkan Perda Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy
- Pengelolaan Lingkungan Baduy
Kondisi lingkungan di desa Kanekes tempat masyarakat Baduy tinggal, memiliki kualitas yang baik yang ditandai dengan kekayaan kenakeragaman hayati yang masih tinggi. Banyak jenis-jenis flora dan fauna yang ada di Baduy tetapi tidak ditemukan di wilayah lainnya. Beberapa satwa yang hidup disana tergolong liar dan langka sehingga dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Kemandirian hidup mereka menciptakan interaksi masyarakat dan lingkungan yang sangat erat dan saling tergantung. Dengan kawasan hutan lindung atau yang disebut mereka hutan tua, maka daerah Baduy memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Kondisi tersebut secara ekologi akan menciptakan keseimbangan alam dan memberikan keuntungan lain seperti sumber daya plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk pembudidayaan dan penyilangan tanaman di masa yang akan datang. Adanya vegetasi yang beraneka ragam dapat menjaga iklim setempat, menghindari pemanasan global, hidrologi, kelembaban, lindungan angin kencang, terik matahari, perlindungan satwa liar, mencegah bahaya erosi, dan kelestarian lingkungan lainnya.
Menurut Johan Iskandar (1990) di kawasan perkampungan Baduy ditemukan sekitar 30 jenis burung, 13 jenis mamalia, 19 jenis ikan, dan 8 jenis reptil yang hidup di lingkungan Baduy. Dari beragam jenis fauna, 40% merupakan hewan liar yang dilindungi oleh Hukum Indonesia. Pengamatan beliau terhadap flora yang ada disana juga menunjukkan angka yang besar, yaitu ditemukan 200 lebih jenis tanaman. Jenis-jenis tanaman tersebut sebagian besar dilindungi, karena sudah semakin langka keberadaannya. Untuk pertanian masyarakat Baduy memiliki 80 jenis padi lokal yang mereka lestarikan dan dibudidayakan dengan disimpan di dalam lumbung mereka. Jenis-jenis padi tersebut sudah jarang bahkan tidak dapat ditemukan di luar Baduy, akibat proses seleksi oleh masyarakat modern yang cenderung memilih jenis padi dengan nilai ekonomi tinggi.[13]
- Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal
Cara hidup tradisional masyarakat Baduy yang sederhana dan penuh toleransi lebih melihat kehidupan jauh kedepan, sehingga tetap menjaga keberlanjutan hidupnya. Proteksi terhadap lingkungan ditujukan untuk mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Pandangan mereka dalam kelestarian lingkungan, sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber kehidupan mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan secara ekonomi lainnya. Kehancuran kehidupan akibat kerusakan lingkungan akan memicu kepunahan suku Baduy.
Oleh sebab itu mereka juga melarang bahkan melawan pihak luar yang berusaha merusak lingkungan mereka. Untuk memproteksi lingkungan dari pengaruh dari luar banyak upaya yang dilakukan mereka dari yang bersifat represif maupun preventif. Beberapa usaha preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan tidak menerima bantuan pembangunan dari pihak mana pun yang diperkirakan dapat merusak kondisi lingkungan atau tatanan sosial mereka. Selain itu mereka juga terus mendesak pemerintah baik lokal maupun nasional untuk menjadikan kawasan mereka sebagai kawasan yang dilindungi dan didukung dengan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah sehingga mengikat bagi orang di luar Baduy.
Dalam kaitannya dengan usaha represif mereka secara tegas langsung menindak siapa saja yang berusaha merusak lingkungan mereka. Pada akhir-akhir ini akibat dari kondisi ekonomi masyarakat di luar Baduy yang sulit, sebagaian orang tidak bertanggung jawab berusaha untuk menebang pohon-pohon di hutan-hutan Baduy terutama yang berbatasan dengan wilayah luar. Ketika mengetahui hal tersebut, mereka berusaha menasihati orang yang melakukan penebangan itu, selanjutnya jika orang tersebut tidak patuh dengan nasihat mereka maka orang Baduy tidak segan-segan untuk menghukum mereka dengan tata cara mereka sendiri.
Dalam hal penataan lingkungan mereka juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuat undang-undang mengenai perlindungan hutan. Hal ini ditujukan bagi masyarakat luar Baduy yang berusaha untuk merusak alam dan lingkungan di Desa Kanekes. Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan daerah mengenai perlindungan alam di Desa Kanekes. Selain itu dalam hal hukum adat, mereka juga meminta pemerintah nasional untuk mengakui peraturan-peraturan mereka menjadi bagian dari hukum Indonesia.[14]
Masyarakat Baduy telah membuktikan bahwa pengelolaan lingkungan, khususnya hutan di kawasan bumi Baduy telah membuat mereka survive dan bertahan hidup di tengah arus modernisasi yang pesat saat ini. Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga hutan dan air sungguh luar biasa. Ada pikukuh yang sampai saat ini masih dipegang dengan teguh.
- Perda Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Perlindungan terhadap masyarakat adat terpencil khususnya dalam keberpihakan hukum Indonesia masih sekadar menganggap masyarakat adat terpencil sebagai suku terasing yang merupakan aset budaya Indonesia yang harus dilindungi tanpa melihat adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya mendapat porsi yang sama di mata hukum dan instrumen hukum lainnya seperti masyarakat Indonesia yang lain. Pelanggaran dan pelecehan terhadap hak-hak ulayat masyarakat adat masih sering saja terjadi, dan justru hal tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirinya berpendidikan dan jauh dari keterbelakangan. Keberadaan komunitas masyarakat adat sebenarnya telah mendapat porsi hukum dalam setiap instrumen hukum nasional bahkan internasional, namun masih banyak perdebatan dan tafsir terhadap isi dan pelaksanaan terhadap pasal-pasal yang mengatur penghormatan, pengakuan dan perlindungan tentang hak dan kewajiban masyarakat adat sebagai bagian dari warga Negara Indonesia. Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan angin segar bagi pengakuan masyarakat adat yang mendiami nusantara ini. Di samping desa, dalam UU No. 6 tahun 2014, juga diakui adanya Desa Adat.
Pemerintah daerah dapat melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan menetapkannya menjadi Desa Adat melalui sebuah peraturan daerah. Asalkan tiga kriteria Desa Adat terpenuhi, yakni kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindung-an masyarakat hukum adat. Dengan adanya kedua payung hukum nasional maka bagi pemerintah daerah disarankan untuk disegerakan memiliki kebijakan terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat.
Kebijakan pemerintah merupakan kebijakan publik, yang merupakan sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengaruh dari tindakan atau aktivitas pemerintah tersebut ialah: adanya pilihan kebijakan yang dibuat, output kebijakan, dan dampak kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.[15] Kebijakan pemerintah daerah yang diharapkan oleh masyarakat adat adalah dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Perjuangan Masyarakat Baduy untuk melindungi tanah ulayat mereka akhirnya tercapai dengan dikeluarkannya Perda No. 32 tahun 2001 tentang Lembaran Daerah Kabupaten Lebak No. 65 tahun 2001 tentang Perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy. Dalam konsiderannya disebutkan bahwa:
- Masyarakat Baduy sebagai masyarakat adat terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari, memiliki wilayah yang bersifat ulayat serta memiliki hubungan dengan wilayah tersebut
- Masyarakat Baduy dalam melakukan hubungan dengan wilayahnya diatur dan dibatasi pada wilayah ulayatnya sehingga perlu dilindungi.
Isi dari Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 mencakup: ketentuan umum; hak ulayat masyarakat baduy yang meliputi: penetapan hak ulayat dan pengecualian terhadap hak ulayat masyarakat baduy; batasbatas hak ulayat masyarakat baduy yang meliputi: batas desa dan batas alam, ketentuan pidana; ketentuan penyidikan; ketentuan lain-lain; dan ketentuan penutup. Perda ini lahir atas inisiatif masyarakat Baduy karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu:
- banyaknya penebangan dan pembalakan liar di wilayah/lahan Baduy oleh masyarakat luar Baduy;
- pencurian hasil tanaman masyarakat Baduy oleh orang luar; dan
- pergeseran batas wilayah yang dilakukan oleh orang luar di daerah perbatasan Baduy, yaitu Sobang, Muncang, Bojongmanik, dengan alasan bahwa tanah yang digarap itu milik negara.
Karena alasan dan permasalahan tersebut, masyarakat Baduy berusaha mengatasi masalaah tersebut bersama tokoh masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Dinas Kehutanan, dan Kementrian Lingkungan Hidup, sampai ke Presiden Abdurahman Wahid. Tahap awal yang dilakukan Jaro mendesak para tokoh adat agar segera bermusyawarah atas usulan pembuatan perda hak ulayat. Selanjutnya, Jaro Daenah bersama pejabat Desa, tokoh lembaga adat, melakukan koordinasi dengan Mentri Dalam Negeri (Yogi S. M.), Menteri Lingkungan Hidup (Erna Witular) hingga menghadap ke Presiden. Hasil koordinasi mendapatkan respon yang baik hingga Perda hak ulayat terwujud. Walaupun Perda sudah diundangkan namun implementasinya masih mengalami beberapa prmasalahan diantaranya adalah:
- sosialisasi masih minim, sehingga masih ada kasus penebangan, pembalakan liar, dan pencurian hasil hutan di wilayah perbatasan Baduy; dan
- adanya kasus rencana pengeboran minyak di wilayah Baduy.
- Penutup
Pada masyarakat Baduy yang hingga kini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat istiadatnya serta meniti hari demi hari dengan penuh kearifan. Kepercayaan dan adat istiadat itu menjadi pikukuh yang senantiasa menjadi falsafah hidup dan keseharian masyarakat Baduy. Nenek moyang atau leluhur Baduy melalui pikukuhnya mengajarkan bahwa berpikir, berkata, dan berbuat haruslah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambahi semaunya. Pikukuh itu juga mengajarkan kejujuran dan selalu menjaga kebenaran dan kebaikan untuk kemaslahatan dan keselamatan.
Pada hakikatnya kegiatan utama masyarakat Baduy adalah menyelamatkan dan menjaga tanah larangan yang telah dikeramatkan oleh leluhurnya. Oleh karena itu, perilaku masyarakat Baduy selalu diarahkan pada pengelolaan hutan dan lingkungannya dan pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian. Berdasarkan rasa tetap memegang kuat kepercayaan dan adat istiadatnya, masyarakat baduy khususnya di Desa Kanekes menolak dana desa dari pemerintah yang tujuannya untuk pembangunan infrastruktur. Masyarakat Baduy khawatir dana yang turun ke desa akan berdampak pada kelestarian alam karena sesungguhnya Baduy dikenal sebagai masyarakat adat yang memegang teguh adat istiadat, termasuk menolak hal yang sifatnya modernitas.
Referensi
Buku:
Feri Prihantoro, BINTARI Foundations. (2006). Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Baduy. Jakarta: Asia Good ESP Practice Project.
Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta, 2010.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Penerbit Banyumedia, 2006.
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1990.
Soejono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 2007).
Tangkilisan, Hesel Nogi S. 2003 Implementasi Kebijakan Publik: Transformasi Pemikiran George Edwards. Yogyakarta : Lukman Offset & Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia.
Jurnal
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta : Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat Oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh. (Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010).
Perundang-undangan
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Perda No. 32 tahun 2001 tentang Lembaran Daerah Kabupaten Lebak No. 65 tahun 2001 tentang Perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy.
Website
Berdesa. 2019. Penolakan Dana Desa Oleh Masyarakat Adat Baduy. http://www.berdesa.com/penolakan-dana-desa-oleh-masyarakat-adat-baduy.
Bahtiar, Rifai. 2019. Baduy Tolak Dana Desa Rp. 2,5 M, Pemkab Lebak Minta Saran Kemendes. https://news.detik.com/berita/d-4429267/baduy-tolak-dana-desa-rp-25-m-pemkab-lebak-minta-saran-keme ndes.
Bayu, Hermawan. 2019. Masyarakat Baduy Tolak Dana Desa. https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/02/14/pmwgn1354-masyara kat-baduy-tolak-dana-desa
[1] Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta, 2010, hal.31.
[2] Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat Oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh. (Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010) hlm.34.
[3] Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
[4] Berdesa. 2019. Penolakan Dana Desa Oleh Masyarakat Adat Baduy. http://www.berdesa.com/penolakan-dana-desa-oleh-masyarakat-adat-baduy/, diakses pada tanggal 25 Oktober 2019.
[5] Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1990, hlm, 13.
[6]Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Penerbit Banyumedia, 2006, hlm 302.
[7] Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hlm. 10
[8] Ibid.
[9] Soejono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 2007), hlm. 10
[10] Bahtiar, Rifai. 2019. Baduy Tolak Dana Desa Rp. 2,5 M, Pemkab Lebak Minta Saran Kemendes. https://news.detik.com/berita/d-4429267/baduy-tolak-dana-desa-rp-25-m-pemkab-lebak-minta-saran-keme ndes, diakses tanggal 25 Oktober 2019.
[11] Bayu, Hermawan. 2019. Masyarakat Baduy Tolak Dana Desa. https://www.republika.co.id/berita/ nasional/daerah/19/02/14/pmwgn1354-masyarakat-baduy-tolak-dana-desa, diakses tanggal 25 Oktober 2019.
[12] Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta : Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
[13] Feri Prihantoro, BINTARI Foundations. (2006). Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Baduy. Jakarta: Asia Good ESP Practice Project.
[14] Ibid. hlm. 15.
[15] Tangkilisan, Hesel Nogi S. 2003 Implementasi Kebijakan Publik: Transformasi Pemikiran George Edwards. Yogyakarta : Lukman Offset & Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia.
Discussion about this post