WARTA TANGERANG – Akhir pekan lalu tepat Sabtu 25 Juni 2022, Penulis berkesempatan menikmati kuliner khas padang di acara bertajuk “Kampung Kuliner Minang” di salah satu pusat perbelanjaan di Serpong Utara, Tangsel. Beberapa stand hadir menyajikan aneka makanan olahan dan masakan khas Minang.
Rendang selalu menjadi favorit. Penulis sempat membaca berita CNN pada tahun 2018 yang merilis daftar 50 makanan terfavorite sedunia dan menempatkan rendang di urutan pertama.
Beberapa minggu lalu sempat “viral” pemberitaan tentang rendang babi, ada kedai makanan di daerah Kelapa Gading Jakarta Utara menyajikan rendang dan gulai dengan bahan dasar daging babi.
Muncullah pro dan kontra mulai dari masyarakat Minangkabau sampai Majelis Ulama Indonesia terhadap kejadian ini.
Bagaimana perspektif hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan menjual rendang dan gulai berbahan dasar daging babi ( untuk selanjutnya penulis sebut rendang dan gulai babi).
Rendang dan gulai babi merupakan produk yang haram di konsumsi menurut Undang-Undang jaminan produk halal.
Pada dasarnya rendang dan gulai babi adalah suatu produk makanan yang berbahan dasar hewan yang di haramkan untuk di konsumsi menurut syariat Islam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UUJPH”). Rendang dan gulai babi merupakan produk haram di konsumsi menurut UUJPH.
Hal tersebut diatur dalam pasal 18 UUJPH yang berbunyi:
(1) Bahan yang berasal dari hewan yang di haramkan sebagaimana di maksud pasal 17 ayat (3) meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang di sembelih tidak sesuai dengan syariat
(2) Bahan yang berasal dari hewan yang di haramkan selain sebagaimana di maksud pada ayat (1) di tetapkan oleh menteri berdasarkan fatwa MUI.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, maka dengan di gunakannya daging babi sebagai bahan untuk membuat rendang dan gulai, maka Makanan tersebut pun menjadi haram untuk dikonsumsi.
Kewajiban Pelaku Usaha Mencantumkan Keterangan Tidak Halal Pada Produk Non-Halal. Selanjutnya pelaku usaha di wajibkan untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk non-halal.
Pasal 26 ayat (1) UUJPH mengatur pelaku usaha yang mem produksi produk yang berasal dari bahan yang di haramkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal. Ketentuan mengenai logo haram atau non-halal tidak diatur dalam UUJPH beserta peraturan pelaksanaannya.
Adapun yang diatur adalah kewajiban pelaku usaha untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang dibuat dari bahan yang diharamkan pada Pasal 26 ayat (2) UUJPH.
Keterangan tidak halal dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan, dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan, yang dicantumkan pada:
a. kemasan produk;
b. bagian tertentu dari produk; dan/atau.
c. tempat tertentu pada produk.
Keterangan tidak halal tersebut yang berupa gambar, tulisan, dan/ atau nama bahan harus dicantumkan oleh pelaku usaha dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan. Keterangan tidak halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Berdasarkan ketentuan di atas pelaku usaha Nasi Padang yang berbahan dasar daging babi tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal sesuai ketentuan peraturan perundang-undang sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Sanksi terhadap pelaku Usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk non halal
Bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang dibuat dari bahan yang diharamkan akan dikenai sanksi administratif, berupa teguran, lisan, peringatan tertulis, atau denda administratif. Sanksi tersebut diatur dalam pasal 27 ayat (2) UU JPH jo. Pasal 150 ayat (1) dan (2) PP 39/2021.
Namun, fakta pada kasus Nasi Padang yang menjual rendang dan gulai berbahan dasar daging babi ini terlihat bahwa pelaku usaha mencantumkan keterangan tidak halal berupa dan/atau tulisan “A non- halal Padang food” dan “Rendang Babi” serta “Gulai Babi” pada produk dan menu makanannya.
Sehingga berdasarkan fakta di atas penulis mengambil kesimpulan pelaku usaha Masakan Padang berbahan dasar daging babi tersebut tidak dapat dikenai sanksi hukum.
Penulis:
Praktisi Hukum
Rasyid Hidayat, SH
Discussion about this post