WARTA TANGERANG – Saat ini, di dunia, lebih dari 50 juta orang mengalami demensia dan Demensia Alzheimer adalah jenis demensia yang terbanyak, sekitar 60-70%. Masyarakat sering menyebut kondisi ini sebagai pikun.
Pikun seringkali dianggap biasa dialami oleh lansia karena bertambahan usia sehingga Demensia Alzheimer seringkali tidak terdeteksi, padahal gejalanya dapat dialami sejak usia muda (early on-set demensia).
Deteksi dini membantu penderita dan keluarganya untuk dapat menghadapi dampak penurunan fungsi kognitif (memori) dan pengaruh psiko-sosial dari penyakit ini dengan lebih baik. Selain itu penanganan Alzheimer sejak dini juga penting untuk memperlambat terjadinya kepikunan.
Hal tersebut terungkap dalam seminar daring Demensia Alzheimer di Masa Pandemi yang digelar Eisai Indonesia bersama Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, Jakarta, Jumat, (23/9/2021).
Kegiatan ini tidak hanya ditujukan bagi para caregiver namun juga kepada para masyarakat awam yang saat ini melakukan pendampingan mandiri pada keluarganya yang mengalami demensia. Meningkatkan kesadaran akan bahaya pikun dan juga penguatan caregiver pada pandemi Covid-19 tentunya menjadi tantangan tersendiri.
Dokter Spesialis Saraf, dr. Made Ayu Wedariani, Sp.S mengatakan, Demensia Alzheimer adalah bentuk yang paling umum dan terbanyak pada sindrom demensia yang berkaitan dengan usia lanjut. Demensia Alzheimer memiliki perjalanan yang cukup panjang dimana penderita awalnya hanya menderita gangguan memori ringan saja yang kemudian secara bertahap seriring dengan bertambahnya usia gejala penurunan memori semakin memberat ditambah dengan gejala kognitif dan non kognitif lainnya, serta diikuti dengan gangguan aktivitas harian maupun fungsional.
“Dengan meningkatnya harapan hidup, jumlah penderita demensia Alzheimer berkembang semakin meningkat dan menyebabkan masalah sosial, ekonomi dan kesehatan,” katanya.
Kata dia, pentingnya deteksi dini Demensia Alzheimer ikut memberikan kesempatan yang terbaik untuk segera menjalani pengobatan sehingga lebih banyak waktu untuk merencanakan masa depan, dan berkurangnya kecemasan tentang masalah yang tidak diketahui.
“Tatalaksana Demensia Alzheimer terdiri dari farmakologis dan non farmakologis untuk memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita dan keluarganya,” ucap Made.
Ditembahkan Dokter Spesialis Saraf, dr. Asnelia Devicaesari, Sp.S mengatakan, setelah diagnosis Demensia Alzheimer ditegakkan, maka diperlukan terapi berkelanjutan dan pendampingan terhadap pasien. Demensia Alzheimer yang sering disebut dengan Orang Dengan Demensia (ODD). Pengobatan rutin yang tepat dan berkelanjutan diperlukan untuk memperlambat progresifitas penyakit. ODD sebaiknya didampingi oleh pendamping (caregiver).
“Cara pendampingan yang sesuai dengan kondisi ODD seperti cara merawat, memperlakukan dan menstimulasi kognitif ODD amat diperlukan untuk mempertahankan kemampuan kognitif dan kemandirian ODD dalam kegiatan harian. Bila keduanya dilakukan secara berkelanjutan maka akan tercapai kualitas hidup yang baik untuk ODD dan tentunya juga untuk pendampingnya,” terangnya.
Diketahui, Demensia adalah suatu sindrom gangguan penurunan fisik otak yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif (memori) (memori), emosi, daya ingat, perilaku dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Diperkirakan ada sekitar satu juta orang penderita Demensia Alzhemeir di Indonesia pada tahun 2013. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada tahun 2030, dan menjadi empat kali lipat pada tahun 2050.
Mereka yang berada di usia 65 tahun keatas merupakan kelompok yang paling beresiko, namun tidak menutup kemungkinan mereka yang dibawah 65 tahun mendapatkan resiko tersebut, hal ini dikenal dengan “young-onset dementia”. (RAY)
Discussion about this post