WARGA TANGERANG – Kasus sanksi tilang terhadap warga atau komunitas yang mengawal perjalanan ambulan perlu dipahami jernih. Tindakan polisi ini bisa menjadi pusaran cemooh publik.
Kendati sanksi itu diberikan atas dasar UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang bisa dipahami maksudnya. Hanya saja perlu disiapkan instrumen tambahan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Peneliti kebijakan publik IDP-LP Riko Novisntiro menilai hadirnua komunitas warga atau individual mengawal perjalanan ambilan semata sebagai bagian sikap gotong royong yang menjadi sendi kehidupan masyarakat. Bukan sebagai aksi gagah dan emosional patriotik belaka.
“Fakta lain yg harus dipahami adalah tindakan warga tersbut merupakan potret tidak mampunya institusi resmi memberiks pelayanan pada bidang yg dimaksudkan,” pungkasnya.
Peneliti IDP-LP ini menambahkan tugas pemerintahan itu ada tiga, yakni to protect the people, to regulate the people dan to serve the people.
Dari sisi ini artinya tugas pelayanan untuk pengawalan ambulan belum berfungsi. Maka tak heran muncul upaya swadaya masyarakat itu.
“Jadi swadaya masyakat itu justru diorganisir. Bukan sebaliknya dihentikan dan diberi sanksi,” paparnya
Pada sisi lain pun, Riko khawatir sikap Kepolisian yang kaku ini bisa menjadi persoalan baru. Apalagi fakta sejarah juga menujukan tugas kepolisian selalu dibantu masyarakat, sebagai contoh lahirnya Satuan Pengamanan (Satpam).
Satpam itu lahir atas prakarsa Kapolri Jenderal Awaloedin sebagai jawaban atas ketidak mampuan polisi memberikan keamamanan dibanyak tempat. Kebijakan itu disambut baik dan berlangsung sampai saat ini.
Atas kajian itu, Riko meminta kepolisian bersikap bijak. Sekaligus berani mengelola swadaya masyarakar dalam pengawalan ambulan.
“Harapannya tumbuh sinergi kepolisian dan masyakat yang lebih baik,” tandasnya. (RIZ)
Discussion about this post